LAPORAN
PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK
Kelompok
5
Dewi Sunarti 1407113406
Irvan Setiawan 1407114829
Lufya Adella 1407113608
M. Fauzan Akbar 1407118336
Mohamad Arief Budiman 1407114711
Percobaan III
REAKSI
ASILASI
“PEMBUATAN
ASETANILIDA”
Asisten:
Novebriantika
Dosen
Pengampu:
Drs.
Edward, HS. MS
Program Studi Sarjana Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Riau
Pekanbaru
2015
Lembar
Pengesahan Laporan Praktikum
Kimia
Organik
Reaksi Asilasi “Pembuatan Asetanilida”
Dosen pengampu
praktikum kimia organik dengan ini menyatakan bahwa :
Kelompok 5:
Dewi Sunarti 1407113406
Irvan Setiawan 1407114829
Lufya Adella 1407113608
M. Fauzan Akbar 1407118336
Mohamad Arief Budiman 1407114711
1. Telah melakukan
perbaikan-perbaikan yang disarankan oleh Dosen Pengampu/Asisten Praktikum.
2. Telah menyelesaikan laporan
lengkap praktikum Reaksi Asilasi “Pembuatan Asetanilida” dari praktikum kimia
organik yang disetujui oleh Dosen Pengampu/Asisten Praktikum.
Catatan
Tambahan:
|
Pekanbaru, Mei 2015
Dosen
Pengampu
Drs. Edward, HS. MS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Asetanilida
merupakan senyawa turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida
primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus
asetil. Perkembangan industri di indonesia khususnya industri kimia berkembang
pesat. Hal ini menyebabkan kebutuhan asetanilida yang merupakan bahan baku
serta bahan penunjang industri kimia juga semakin meningkat. Kebutuhan
asetanilida di Indonesia yang masih mengandalkan impor dari luar. Ini
disebabkan karena minimnya teknologi yang dibutuhkan untuk industri pembuatan
asetanilida. Nilai impor asetanilida
tiap tahun terus meningkat. Sehingga dalam menyongsong era industrialisasi yang
merupakan program pemerintah yang sangat penting dalam rangka proses alih teknologi dan
membuka lapangan pekerjaan yang baru serta untuk penghematan devisa negara dan
untuk merangsang pertumbuhan industri kimia yang lain, maka perlu dibangun
pabrik asetanilida untuk mencukupi kebutuhan asetanilida dalam negeri
(Hartanti, 2011).
Pendirian pabrik asetanilida di indonesia dapat dilakukan
karena didukung oleh beberapa alasan yaitu: pabrik – pabrik industri kimia
seperti pabrik cat, pabrik karet dan pabrik farmasi semakin berkembang yang
memungkinkan kebutuhan akan asetanilida semakin meningkat. Dapat memberikan lapangan pekerjaan
sehingga dapat banyak menyerap banyak tenaga kerja.
1.2
Tujuan Percobaan
1.
Mempelajari
dan memahami pembuatan asetanilida skala
labor
2.
Mempelajari
reaksi asilasi
3.
Menghitung
berat asetanilida yang dihasilkan, persentase rendemen kadar air.
BAB II
LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
2.1
Asam Karboksilat
Suatu asam karboksilat adalah suatu
senyawa organik yang mengandung gugus karboksil, –COOH. Gugus karboksil
mengandung gugus karbonil dan sebuah gugus hidroksil; antar aksi dari kedua
gugus ini mengakibatkan suatu kereaktifan kimia yang unik dan untuk asam
karboksilat (Fessenden, 1997).
Asam format terdapat pada semut merah
(asal dari nama), lebah, jelatang dan sebagainya (juga sedikit dalam urine dan
peluh). Sifat fisika: cairan, tak berwarna, merusak kulit, berbau tajam, larut
dalam H2O dengan sempurna. Sifat kimia: asam paling kuat dari
asam-asam karboksilat, mempunyai gugus asam dan aldehida (Riawan, 1990).
Asam asetat (CH3COOH) sejauh
ini merupakan asam karboksilat yang paling penting diperdagangan, industri dan
laboratorium. Bentuk murninya disebut asam asetat glasial karena senyawa ini
menjadi padat seperti es bila didinginkan. Asam asetat glasial tidak berwarna,
cairan mudah terbakar (titik leleh 7ºC, titik didih 80ºC), dengan bau pedas menggigit.
Dapat bercampur dengan air dan banyak pelarut organik (Fessenden, 1997).
Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh
asam karboksilat menurut Fessenden (1997) adalah:
1.
Reaksi Pembentukan Garam
Garam
organik yang membentuk dan memiliki sifat fisik dari garam anorganik
padatannya, NaCl dan KNO3 adalah garam organik yang meleleh pada
temperatur tinggi, larut dalam air dan tidak berbau. Reaksi
yang terjadi adalah:
HCOOH + Na+
→ HCOONa + H2O......................................................... (1)
2.
Reaksi Esterifikasi
Ester asam
karboksilat ialah senyawa yang mengandung gugus –COOR dengan R dapat berbentuk
alkil. Ester dapat dibentuk berkat reaksi langsung antara asam karboksilat
dengan alkohol. Secara umum reaksinya adalah:
RCOOH + R’OH
→ RCOOR + H2O......................................................... (2)
3.
Reaksi Oksidasi
Reaksi
terjadi pada pembakaran atau oleh reagen yang sangat kokoh dan kuat seperti
asam sulfat, CrO3, panas. Gugus asam
karboksilat teroksidasi sangat lambat.
4.
Pembentukan Asam Karboksilat
Beberapa
cara pembentukan asam karboksilat dengan jalan sintesa dapat dikelompokkan
dalam 3 cara yaitu: reaksi hidrolisis turunan asam
karboksilat, reaksi
oksidasi, reaksi
Grignat.
Asam
karboksilat, dengan basa akan membentuk garam dan dengan alkohol menghasilkan
eter. Banyak dijumpai dalam lemak dan minyak, sehingga sering juga disebut asam
lemak. Pembuatannya antara lain melalui oksidasi alkohol primer, sekunder atau
aldehida, oksidasi alkena, oksidasi alkuna hidrolisa alkil sianida (suatu
nitril) dengan HCl encer, hidrolisa ester dengan asam, hidroilisa asil halida,
dan reagen organolitium (Wilbraham, 1992).
Asam karboksilat mempunyai gugus fungsi –COOH yang merupakan
produk oksidasi aldehida, sama seperti aldehida yang merupakan produk oksidasi
alkohol primer. Perubahan anggur menjadi cuka ialah oksidasi dua langkah yang
dimulai dari etanol berubah menjadi asetaldehida kemudian menjadi asam asetat.
Dalam industri, asam asetat dapat diproduksi melalui oksidasi udara dari
asetaldehida dengan katalis mangan asetat pada suhu 55°C
- 800C.
Gambar
2.1 Pembentukan Asam Karboksilat (Oxtoby, 2003)
Reaksi yang sekarang disukai untuk produksi asam asetat,
karena alasan ekonomi ialah kombinasi dari metanol dengan karbon monoksida
keduanya diturunkan dari gas alam dengan katalis yang mengandung rodium dan
iodin (Oxtoby, 2003).
2.2 Asam Asetat
Glasial
2.2.1 Pengertian Asam Asetat Glasial
Asam asetat, asam etanoat atau asam
cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam
dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2.
Asam asetat murni (disebut asam
asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna
dan memiliki titik beku 16,7°C (Abduh, 2010).
Gambar 2.2 Rumus molekul asam asetat
glasial (Daintith ,2005)
Asam asetat
termasuk ke dalam golongan asam karboksilat dengan rumus molekul CH3COOH,
berwujud cairan kental jernih atau padatan mengkilap, dengan bau tajam khas
cuka, titik leburnya 16,7oC, dan titik didihnya 118,5oC. Senyawa
murninya dinamakan asam etanoat glasial. Dibuat dengan mengoksidasi etanol atau
dengan mengoksidasi butana dengan bantuan mangan (II) atau kobalt (II) etanoat
larut pada suhu 200oC. Asam asetat digunakan dalam pembuatan
anhidrida etanoat untuk menghasilkan selulosa etanoat (untuk polivinil asetat).
Senyawa ini juga dapat dibuat dari fermentasi alkohol, dijumpai dalam cuka
makan yang dibuat dari hasil fermentasi bir, anggur atau air kelapa. Beberapa
jenis cuka makan dibuat dengan menambahkan zat warna (Daintith, 2005).
2.2.2 Sifat Fisika dan Kimia Asetat Glasial
1. Sifat Fisika Asam Asetat
Glasial
Tabel 2.1 Sifat fisika
asam asetat glasial
Rumus Molekul
|
CH3COOH
|
Massa Molar
|
60,05 gram/mol
|
Densitas
|
1,05 gram/cm3
|
Titik Lebur
|
16,5oC
|
Titik Didih
|
118,1oC
|
Sumber: Amri (2009).
2. Sifat Kimia Asam Asetat
Glasial
Menurut Austin (2008), adapun sifat
kimia asam asetat glasial:
a.
Atom hidrogen (H) pada guguskarboksil (−COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat
dapat dilepaskan sebagai ion H+ (proton), sehingga memberikan sifat asam. Asam
asetat adalah asam lemah monoprotik dengan nilai pKa=4.8.
Basa konjugasinya adalah asetat (CH3COO−).
Sebuah larutan 1,0 M asam asetat (kira-kira
sama dengan konsentrasi pada cuka rumah) memiliki pH sekitar 2,4.
b.
Asam asetat cair adalah pelarut protik
hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam asetat memiliki konstanta
dielektrik yang sedang yaitu 6,2, sehingga ia bisa melarutkan
baik senyawa polar seperi garamanorganik dan gula maupun senyawa non-polar seperti minyak dan unsur-unsur seperti sulfur dan iodin.
c.
Bersifat
korosif terhadap banyak logam seperti besi, magnesium, dan seng membentuk gas
hidrogen dan garam-garam asetat.
d.
Baunya khas
2.2.3
Proses Pembuatan Asam Asetat Glasial
1. Karbonilasi metanol
Kebanyakan asam asetat
murni dihasilkan melalui karbonilasi. Dalam reaksi ini, metanol dan karbon monoksida
bereaksi menghasilkan asam asetat.
Proses ini melibatkan iodometana sebagai zat
antara, dimana reaksi itu sendiri terjadi dalam tiga tahap dengan katalis logam kompleks pada tahap kedua.
(2) CH3I + CO → CH3COI....................................................................... (5)
(3) CH3COI + H2O → CH3COOH + HI.................................................... (6)
Jika kondisi reaksi diatas
diatur sedemikian rupa, proses tersebut juga dapat menghasilkan anhidrida asetat
sebagai hasil tambahan (Austin, 2008).
2.
Oksidasi asetaldehida
Sekarang oksidasi
asetaldehida merupakan metoda produksi asam asetat kedua terpenting, sekalipun
tidak kompetitif bila dibandingkan dengan metode karbonilasi
metanol.Asetaldehida yang digunakan dihasilkan melalui oksidasi butana atau nafta ringan, atau hidrasi dari etilena. Saat butena atau nafta ringan dipanaskan bersama
udara disertai dengan beberapa ion logam, termasuk ion mangan, kobalt dan kromium, terbentuk peroksida yang selanjutnya terurai menjadi asam
asetat sesuai dengan persamaan reaksi dibawah ini.
Umumnya reaksi ini dijalankan pada temperatur dan tekanan sedemikian rupa sehingga tercapai suhu
setinggi mungkin namun butana masih berwujud cair. Kondisi reaksi pada umumnya sekitar 150°C and
55 atm. Produk sampingan seperti butanon, etil asetat, asam
format dan asam propionat juga mungkin terbentuk. Produk sampingan ini bernilai
komersial dan jika diinginkan kondisi reaksi dapat diubah untuk menghasilkan
lebih banyak produk samping, namun pemisahannya dari asam asetat menjadi
kendala karena membutuhkan biaya lebih banyak lagi. Melalui kondisi dan katalis yang sama asetaldehida dapat dioksidasi
oleh oksigenudara menghasilkan asam asetat.
Dengan menggunakan katalis modern, reaksi ini dapat
memiliki rasio hasil (yield) lebih
besar dari 95%. Produk samping utamanya adalah etil
asetat, asam format dan formaldehida, semuanya memiliki titik didih yang lebih rendah daripada asam asetat
sehingga dapat dipisahkan dengan mudah melalui distilasi
(Austin,
2008).
2.2.4
Kegunaan Asam Asetat Glasial
Menurut
Austin (2008), adapun kegunaan dari asam asetat glasial sebagai berikut:
1. Dalam industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman,
pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, serta untuk menambah rasa sedap pada
masakan.
2. Asam asetat digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai
senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai
bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM).
3. Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan
juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka
relatif kecil. Sekitar larutan 12,5% untuk makanan.
4. Reagen untuk analisa.
5. Untuk membuat putih timbal, dll.
2.3
Amina
Gambar 2.3 Struktur Kimia Amina (Oxtoby, 2003)
Amina adalah
turunan dari amonia dengan rumus umum R3N, R dapat berupa gugus
hidrokarbon atau hidrogen. Jika hanya
satu atom hidrogen dari amonia digantikan oleh satu gugus hidrokarbon,
hasilnya ialah amina primer. Contohnya ialah etilamina dan anilin. Jika dua
gugus hidrokarbon menggantikan atom-atom hidrogen dalam molekul amonia, senyawa
ini ialah amina sekunder seperti dimetilamina dan tiga penggantian menghasilkan
amina tersier (trimetilamina) amina bersifat basa sebab ada pasangan elektron
menyendiri pada atom nitrogen yang dapat menerima satu ion hidrogen, sama
seperti pasangan menyendiri pada nitrogen dalam amonia. Amina primer atau
sekunder dapat bereaksi dengan asam karboksilat membentuk amida. Reaksi
kondensasi yang lain dan analog dengan pembentukan ester dari reaksi alkohol
dengan asam karboksilat. Contoh pembentukan asetamida ialah :
Gambar 2.4 Pembentukan Asetanilida (Oxtoby,
2003)
Jika amonia adalah reaktan, suka gugus –NH2 menggantikan gugus –OH dalam asam karboksilat dan amida terbentuk:
Gambar 2.5 Pembentukan
Amida (Oxtoby, 2003)
Ikatan amida ada dalam tulang
punggung setiap molekul protein dan oleh karena itu, sangat penting dalam
biokimia (Oxtoby, 2003).
Semakin
banyak amina yang tersubsitusi oleh gugus alkil pelepas elektron, makin basa
amina tersebut. Gugus pelepas elektron dapat menstabilkan muatan positif ion
amonium yang digantikan . jadi trimetil amina merupakan basa yang lebih kuat
daripada amonia. Trimetil amina yaitu terdapat tiga gugus amina dalam suatu
senyawa. Secara umum amina aromatik merupakan basa ynag lebih lemah daripada
amonia akibat stabilitas resonansi yang dimiliki senyawa aromatik (Bresnick,
2003).
2.4
Anilin
2.4.1 Pengertian anilin
Gambar 2.6 Struktur Kimia Anilin (Ahmad,
2011)
Anilin pertama kali diisolasi dari distilasi destruktif
indigo pada tahun 1826 oleh Otto Unverdorben, yang menamainya kristal. Pada
tahun 1834, Friedrich Runge terisolasi dari tar batubara zat yang menghasilkan
warna biru yang indah pada pengobatan dengan klorida kapur, yang bernama kyanol
atau cyanol Pada tahun 1841, CJ Fritzsche menunjukkan bahwa, dengan
memperlakukan indigo dengan potas api, itu menghasilkan minyak, yang ia beri
nama anilina, dari nama spesifik dari salah satu-menghasilkan tanaman nila,
dari Portugis anil "yang semak indigo" dari bahasa Arab an- nihil
"nila" asimilasi dari al-nihil, dari nila Persia, dari nili
"indigo" dengan Indigofera anil, anil yang berasal dari Sansekerta
nila, biru tua, nila, dan pabrik nila (Ahmad, 2011).
Anilin merupakan senyawa turunan benzene
yang dihasilkan dari reduksi nitrobenzene.Anilin memiliki rumus molekul
C6H5NH2. Anilin merupakan
cairan minyak tak berwarna yang mudah menjadi coklat karena oksidasi atau
terkena cahaya, bau dan cita rasa khas, basa organik penting karena merupakan
dasar bagi banyak zat warna dan obat toksik bila terkena, terhirup, atau
terserap kulit. Senyawa ini merupakan dasar untuk pembuatan zat warna diazo.Anilin dapat
diubah menjadi garam diazoinum dengan bantuan asam nitrit dan asam klorida (Groggins,
1958).
2.4.2
Sifat Fisika dan Kimia Anilin
1.
Sifat Fisika Anilin
Tabel 2.2 Sifat fisika anilin
Wujud
|
Cair
|
Bau
|
Khas
|
Warna
|
Coklat bening
|
Densitas
|
1,022 gram/ml pada 20oC
|
Titik didih
|
184oC (1 atm) ;
221,793oC (2,5 atm)
|
Sumber: Priyatmono (2008)
2.
Sifat Kimia Anilin
Menurut Ahmad (2011), sifat kimia dari anilin yaitu:
a.
Halogenasi
senyawa anilin dengan brom dalam larutan sangat encer menghasilkan endapan 2,
4, 6 tribromo anilin. Pemanasan anilin hipoklorid dengan senyawa anilin sedikit
berlebih pada tekanan sampai 6 atm menghasilkan senyawa diphenilamine.
b.
Hidrogenasi
katalitik pada fase cair pada suhu 135°C – 170oC
dan tekana 50 – 500 atm menghasilkan 80% cyclohexamine ( C6H11NH2
). Sedangkan hidrogenasi anilin pada fase uap dengan menggunakan katalis nikel
menghasilkan 95% cyclohexamine.
c.
Nitrasi
anilin dengan asam nitrat pada suhu -20oC menghasilkan
mononitroanilin, dan nitrasi anilin dengan nitrogen oksida cair pada suhu 0oC
menghasilkan 2, 4 dinitrophenol. Aniline merupakan senyawa yang bersifat basa,
dengan titik didih 180oC dan indeks bias 158 . jika kontak dengan cahaya
matahari aniline akan mengalami reaksi oksidasi dilaboratorium aniline
digunakan untuk dan dalam kehidupan sehari hari digunakan untuk zat warna.
d.
Aniline
dibuat melalui reaksi reduksi dengan bahan baku nitrobenzene. Anilin merupakan
cairan minyak tak berwarna yang mudah menjadi coklat karena oksidasi atau
terkena cahaya, bau dan cita rasa khas, basa organic penting karena merupakan
dasr bagi banyak zat warna dan obat toksik bila terkena, terhirup, atau
terserap kulit.
e.
Anilin
dapat disintetis melalui dua cara yaitu reduksi senyawa nitrobenzena dengan
logam Fe granul bersama dengan HCl pekat dan isolasi anilin dari hasil reaksi.
Dalam hal ini langkah awal yang dilakukan adalah reaksi reduksi nitrobenzena
dimana dalam reduksi ini digunakan 20 ml nitrobenzena yang dmasukkan dalam labu
alas bulat (berleher panjang), kemudian ditambahkan dengan 25 gram serbuk Fe,
sehingga larutan berwana hitam pekat. Labu dihubungkan dengan kondensor liebig,
dan ditambahkan 100 ml HCl pekat dengan hati - hati dan sedikit-sedikit lewat
kondensor. Setelah itu dapat diamati dalam larutan terdapat endapan berwarna
hitam (pada bagian bawah). Pada saat penambahan HCl labu dimasukkan dalam wadah
yang berisi air es. Sebab saat penambahan akan timbul panas Penambahan HCl
berfungsi untuk membantu proses mereduksi nitrobenzena. Proses ini dilakukan
dalam lemari asam, setelah semua HCl ditambahkan, labu diletakkan di atas kasa
dan direfluks selama 20 menit (dengan menggunakan kondensor air), pada saat
direfluks dapat diamati adanya uap yang keluar dari labu. Tujuan merefluks
yaitu untuk mencampurkan larutan. Hasil dari refluks berupa padatan yang
berwarna cokelat (Ahmad, 2011).
2.4.3
Proses Pembuatan Anilin
1.
Aminasi Chlorobenzene
Pada proses aminasi chlorobenzene menggunakan zat pereaksi
amoniak cair, dalam fasa cair dengan katalis tembaga oxide dipanaskan akan menghasilkan 85 - 90% anilin. Sedangkan
katalis yang aktif untuk reaksi ini adalah tembaga khlorid yang terbentuk dari
hasil reaksi samping ammonium khlorid dengan tembaga oxide. Mula - mula amoniak cair dimasukkan ke dalam mixer dan pada saat bersamaan
chlorobenzen dimasukkan pula, tekanan di dalam mixer adalah 200 atm. Dari mixer
campuran chlorobenzen dengan amoniak dilewatkan ke pre-heater kemudian masuk ke reaktor dengan suhu reaksi 235°C dan tekanan
200 atm. Pada reaksi ini ammonia cair yang digunakan adalah berlebihan. Dengan
menggunakan katalis tertentu, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
C6H5Cl + 2 NH3 ===>
C6H5NH2+ NH4Cl................................. (8)
Pada
proses aminasi chlorobenzen, hasil yang diperoleh berupa nitro anilin
dengan yield yang dihasilkan adalah 96%.
2.
Reduksi Nitrobenzen
a.
Reduksi fasa cair
Untuk fasa cair,
nitrobenzen direduksi dengan hidrogen dalam suasana asam (HCl) serta
adanya ironboring, dengan suhu sekitar 135°C - 170°C dan tekanan antara
50 - 500 atm, dimana asam ini akan mengikat oksigen sehingga akan terbentuk
air.
Dengan bantuan katalis Fe2O3 reaksinya
sebagai berikut :
4C6H5NO2
+ 11 H2
===> 4 C6H5NH2
+ 8 H2O............................. (9)
Proses reduksi dalam fasa cair sudah tidak
digunakan lagi karena tekanan yang digunakan tinggi sehingga kurang efisien
dari segi ekonomis dan teknis. Yield
yang dihasilkan adalah 95% (Mawarni, 2013).
b. Reduksi fasa gas
Proses
pembuatan anilin dari reduksi nitrobenzen dalam fasa gas, sebagai pereduksi
adalah gas hidrogen dan untuk mempercepat reaksi dibantu dengan katalisator
nikel oksida, reaksinya sebagai berikut :
4C6H5NO2
+ 3 H2
===>
C6H5NH2 + 2H2O........................... (10)
Pada proses reduksi fasa
gas dengan suhu didalam reaktor sekitar 275°C - 350°C dan tekanan 1,4 atm,
reaksi yang terjadi adalah reaksi eksotermis karena mengeluarkan panas. Yield
yang dihasilkan pada proses ini adalah 98% dan kemurnian dari hasil (anilin)
yang tinggi ini (99%) mengakibatkan anilin dari segi komersial dapat digunakan (Mawarni, 2013).
2.4.4
Kegunaan Anilin
Menurut Mawarni (2013), adapun
kegunaan dari anilin:
a. Bahan bakar roket.
b. Pembuatan zat warna
diazo.
c. Obat-obatan
d. Bahan peledak.
2.5
Etanol
2.5.1
Pengertian Etanol
Etanol adalah alkohol
2-karbon dengan rumus molekul CH3CH2OH.Rumus molekul dari
etanol itu sendiri adalah C2H5OH dengan rumus empirisnya
C2H6O. Sebuah notasi alternatif adalah CH3-CH2-OH,
yang mengindikasikan bahwa karbon dari gugus metil (CH3-) melekat
pada karbon dari gugus metilen (-CH2 -), yang melekat pada oksigen
dari gugus hidroksil (OH-). Etanol sering disingkat sebagai EtOH, menggunakan
notasi kimia organik umum mewakili gugus etil (C2H5) (Sri, 2013).
Etanol termasuk dalam alkohol primer, yang
berarti bahwa karbon yang berikatan dengan gugus hidroksil paling tidak
memiliki dua hidrogen atom yang terikat dengannya juga.Reaksi kimia yang
dijalankan oleh etanol kebanyakan berkutat pada gugus hidroksilnya.
Rumus kimia adalah rumus yang melambangkan jumlah atom
unsur yang menyusun senyawa beserta nama atomnya. Rumus kimia juga dikenal
dengan nama rumus molekul, karena penggambaran yang nyata dari jenis dan jumlah
atom unsur penyusun senyawa yang bersangkutan (Sri, 2013).
Gambar 2.7 Rumus molekul etanol (Sri, 2013)
2.5.2
Sifat Fisika dan Kimia Etanol
1.
Sifat Fisika Etanol
Tabel 2.3 Sifat fisika etanol
Massa Molekul Relatif
|
46,07 gram/mol
|
Titik Didih Normal
|
78,32oC
|
Titik Beku
|
−144,1oC
|
Sumber: Sri (2013)
2.
Sifat
Kimia Etanol
Menurut
Sri (2013), adapun sifat kimia etanol:
1.
sebagai pelarut berbagai
bahan-bahan kimia yang ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan manusia.
2.
Dalam sejarahnya etanol
telah lama digunakan sebagai bahan bakar.
3.
Etanol juga dapat
membentuk senyawa ester dengan asam anorganik.
4.
Etanol dapat dioksidasi
menjadi asetaldehida, yang
kemudian dapat dioksidasi lebih lanjut menjadi asam asetat. Dalam
tubuh manusia, reaksi oksidasi ini dikatalisis oleh enzim tubuh. Pada laboratorium, larutan akuatik oksidator
seperti asam kromat ataupun kalium
permanganat digunakan untuk mengoksidasi
etanol menjadi asam asetat.
5.
Pembakaran etanol akan
menghasilkan karbon dioksida dan air.
2.5.3
Proses Pembuatan Etanol
Etanol dapat diproduksi
secara petrokimia melalui
hidrasi etilena ataupun secara
biologis melalaui fermentasi gula dengan
ragi.
1. Hidrasi etilena
Etanol yang digunakan untuk kebutuhan
industri sering kali dibuat dari senyawa petrokimia, utamanya adalah melalui hidrasi etilena:
Katalisa yang digunakan
umumnya adalah asam fosfat.Katalis ini digunakan pertama kali untuk produksi skala
besar etanol oleh ShellOilCompany pada tahun 1947.Reaksi ini dijalankan
dengan tekanan uap berlebih pada suhu 300°C. Proses lama yang pernah digunakan
pada tahun 1930 oleh Union Carbide adalah dengan menghidrasi etilena secara
tidak langsung dengan mereaksikannya dengan asam
sulfat pekat untuk mendapatkan etil sulfat. Etil sulfat kemudian dihidrolisis dan menghasilkan etanol (Myers,
2007).
C2H4 + H2SO4 → CH3CH2SO4H........................................................... (12)
CH3CH2SO4H + H2O → CH3CH2OH + H2SO4...................................... (13)
2. Fermentasi
Etanol untuk kegunaan
konsumsi manusia (seperti minuman
beralkohol) dan kegunaan bahan bakar diproduksi dengan cara fermentasi. Spesies ragi tertentu (misalnya Saccharomycescerevisiae) mencerna gula dan menghasilkan etanol dan karbon dioksida:
Proses membiakkan ragi
untuk mendapatkan alkohol disebut sebagai fermentasi. Konsentrasi etanol yang tinggi akan
beracun bagi ragi. Pada jenis ragi yang paling toleran terhadap etanol, ragi
tersebut hanya dapat bertahan pada lingkungan 15% etanol berdasarkan volume (Myers,
2007).
Untuk menghasilkan
etanol dari bahan-bahan pati, misalnya serealia, pati tersebut haruslah diubah terlebih dahulu
menjadi gula. Dalam pembuatan bir, ini dapat dilakukan dengan merendam biji
gandum dalam air dan membiarkannya berkecambah. Biji gandum yang beru
berkecambah tersebut akan menghasilkan enzim amilase. Biji kecambah gandum ditumbuk, dan amilase yang ada
akan mengubah pati menjadi gula.
Untuk etanol bahan bakar, hidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan
dengan lebih cepat menggunakan asam sulfat encer, menambahkan fungi penghasil
amilase, atapun kombinasi dua cara tersebut (Myers, 2007).
2.5.4
Kegunaan Etanol
Etanol digunakan untuk
bahan baku industri atau pelarut (kadang-kadang disebut sebagai etanol
sintetis) yang terbuat dari petrokimia saham pakan, terutama oleh asam –
katalis hidrasi etilena, diwakili oleh persamaan kimia:
C2H4 + H2O
→ CH3CH2OH.................................................................. (15)
Etanol terbentuk dari 3 senyawa yaitu karbon,
hidrogen dan oksigen, etanol juga merupakan cairan yang mudah menguap dengan
aroma yang khas dan tak berwarna. Dapat
juga terbakar tanpa adanya asap dengan timbulnya lidah api berwarna biru yang
kadang-kadang tidak dapat terlihat pada cahaya biasa. Etanol diartikan sebagai
cairan yang sangat mudah terbakar, mudah menguap, alkohol yang sering digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, etanol juga tidak berwarna. Sifat gugus hidroksil
yang polar menyebabkan dapat larut dalam banyak senyawa ion, utamanya natrium
hidroksida, kalium hidroksida, magnesium klorida, kalsium klorida, amonium
klorida, amonium bromida, dan natrium bromida.Natrium klorida dan kalium
klorida sedikit larut dalam etanol. Oleh karena itu, etanol juga memiliki
rantai karbon nonpolar, ia juga larut dalam senyawa nonpolar, meliput
kebanyakan minyak atsiri dan banyak perasa, pewarna, dan obat. Ikatan hidrogen
menyebabkan etanol murni sangat higroskopis, sehinggaakan
menyerap air dari udara (Fessenden, 1997).
Selain etanol orang mengenalnya dengan alkohol
atau minuman yang beralkohol, ini disebabkan karena adanya etanol sebagai bahan
utama atau zat utama dari etanol tersebut bukan metanol ataupun yang
lainnya.Dalam segala apapun yang terikat pada atom karbon, dan yang memiliki
gugus hidroksil (-OH) di dalam kimia alkohol juga dikenal dengan senyawa
organik.
Etanol sering digunakan dalam ilmu farmasi dan
ilmu kimia, sehingga jika dihubungkan dengan ilmu farmasi akan memiliki arti
tersendiri yang lebih luas. Dalam kimia, etanol adalah pelarut penting dan
digunakan untuk stok senyawa sintetis lainnya dan etanol juga dapat digunakan
sebagai bahan bakar. Etanol digunakan sebagai pelarut karena untuk konsumsi dan
penggunaan pada manusia.Contohnya, penggunaan pada pemakaian pewarna makanan,
perasa, obat-obatan serta dapat digunakan juga sebagai parfum (Fessenden,
1997).
Etanol adalah salah satu
pelarut yang sangat serbaguna, dia dapat larut dalam air dan pelarut organik
lainnya, meliputi asam asetat, aseton, benzena, karbon tetraklorida, kloroform,
dietil eter, etilena glikol, gliserol,nitrometana, piridina, dan toluena.
Selain dapat larut dalam pelarut organik dan dalam air aetanol juga larut dalam
hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan heksana, dan juga larut
dalam senyawa kloridapada suhu 20°C nilai kalor 7077 kal/g, panas laten penguapan 204 kal/g dan
mempunyai angka oktan 91-105 (Fessenden, 1997).
2.6
Reaksi
Asilasi
2.6.1
Pengertian Asilasi
Sebuah asil merupakan alkil yang terikat pada ikatan
rangkap oksigen dan karbon. Jika R mewakili alkil, maka asil mempunyai formula.
Gambar 2.8 Gugus asil (Pudjaatmaka, 1992)
Asil yang umum dipakai adalah CH3CO-. Ini disebut
sebagai etanoil.
Dalam kimia, asilasi (secara formal, namun jarang digunakanalkanoilasi) adalah proses adisi gugus
asil ke sebuah senyawa. Senyawa yang
menyediakan gugus asil disebut sebagai agen
pengasil.Asil halida sering
digunakan sebagai agen pengasil karena dapat membentuk elektrofil yang kuat ketika diberikan beberapa
logam katalis. Sebagai contoh
pada asilasi
Friedel-Crafts menggunakan asetil klorida, CH3COCl, sebagai agen dan aluminium klorida (AlCl3)
sebagai katalis untuk adisi gugus asetil ke benzena.
Gambar 2.9 Contoh reaksi asilasi (Pudjaatmaka, 1992)
Asil halida dan anhidrida
asam karboksilat juga sering digunakan sebagai agen penghasil
untuk mengasilasi amina menjadi amida atau mengasilasi alkohol menjadi ester. Dalam hal ini, amina dan alkohol adalah nukleofil, mekanismenya adalah adisi-eliminasi nukleofilik. Asam suksinat juga umumnya digunakan
pada beberapa tipe asilasi yang secara khusus disebut suksinasi. Oversuksinasi
terjadi ketika lebih dari satu suksinat diadisi ke sebuah senyawa tunggal.Contoh industri asilasi adalah sintesis aspirin, di
mana asam
salisilat diasilasi oleh asetat anhidrida.
2.6.2
Mekanisme Anilin dan Asam Asetat Glasial
Gambar 2.10 Reaksi
anilin dan asam asetat glasial
Sintesis asetanilida
sebagai suatu amida adalah merupakan suatu reaksi substitusi nukleofilik (SN)
asil (addition/ elimination) diantara anilin.Anilin bersifat
sebagai nukleofil, dan gugus asil dari asam asetat bersifat elektrofil.Mula-mula anilin bereaksi dengan asam
asetat membentuk suatu amida dalam keadaan transisi, kemudian diikuti dengan
reduksi H2O membentuk asetanilida.Substitusi aromatik elektrofilik
adalah reaksi organik dimana sebuak atom, biasanya hidrogen, yang terikat pada
sistem aromatis diganti dengan elektrofil.Reaksi terpenting di kelas ini adalah
nitrasi aromatik, halogenasi aromatik, sulfonasi aromatik dan asilasi dan
alkilasi reaksi Friedel-Craft (Fessenden, 1999).
2.7
Asetanilida
Asetanilida merupakan senyawa
turunan asetil amina aromatis yang digolongkan sebagai amida primer, dimana
satu atom hidrogen pada anilin digantikan dengan satu gugus asetil. Asetinilida
berbentuk butiran berwarna putih tidak larut dalam minyak parafin dan larut
dalam air dengan bantuan kloral anhidrat. Asetanilida atau sering disebut
phenilasetamida mempunyai rumus molekul C6H5NHCOCH3
dan berat molekul 135,16.
Asetanilida pertama kali ditemukan
oleh Friedel Kraft pada tahun 1872 dengan cara mereaksikan asethopenon
dengan NH2OH sehingga terbentuk asetophenon oxime yang kemudian
dengan bantuan katalis dapat diubah menjadi asetanilida. Pada tahun 1899
Beckmand menemukan asetanilida dari reaksi antara benzilsianida dan H2O
dengan katalis HCl. Pada tahun 1905 Weaker menemukan asetanilida dari
anilin dan asam asetat (Arsyad,
2001).
2.7.1
Macam – Macam
Proses
Menurut Arsyad (2001), ada beberapa proses pembuatan asetanilida, yaitu:
a.
Pembuatan
asetanilida dari asam asetat anhidrid dan anilin
Larutan benzene dalam satu bagian anilin dan 1,4 bagian asam
asetat anhidrad direfluk dalam sebuah kolom yang dilengkapi dengan jaket sampai
tidak ada anilin yang tersisa.
2 C6H5NH2 + ( CH2CO
)2O 2C6H5NHCOCH3 + H2O................................... (16)
Campuran reaksi disaring, kemudian kristal dipisahkan dari
air panasnya dngan pendinginan, sdan filtratnya direcycle kembali. Pemakaian
asam asetatanhidrad dapat diganti dengan asetil klorida.
b.
Pembuatan
asetanilida dari asam asetat dan anilin
Metode ini merupakan metode awal yang masih digunakan karena
lebih ekonomis. Anilin dan asam asetat berlebih 100% direaksikan dalam sebuah
tangki yang dilengkapi dengan pengaduk.
C6H5NH2 + CH3COOH
C6H5NHCOCH3 + H2O........................................... (17)
Reaksi berlangsung selama 6 jam pada suhu 150oC –
160oC. Produk dalam keadaan panas dikristalisasi dengan menggunakan
kristalizer.
c.
Pembuatan
asetanilida dari ketene dan anilin
Ketene ( gas ) dicampur kedalam anilin di bawah kondisi yang
diperkenankan akan menghasilkan asetanilida.
C6H5NH2 + H2C=C=O
C6H5NHCOCH3........................................................ (18)
d.
Pembuatan
asetanilida dari asam thioasetat dan anilin
Asam
thioasetat direaksikan dengan anilin dalam keadaan dingin akan menghasilkan
asetanilida dengan membebaskan H2S.
C6H5NH2 + CH3COSH
C6H5NHCOCH3 + H2S............................................. (19)
Menurut Arsyad (2001), dalam pembuatan
asetanilida digunakan proses antara asam asetat dengan anilin. Pertimbangan dari
pemilihan proses ini adalah:
1.
Reaksinya
sederhana
2.
Tidak
menggunakan katalis sehingga tidak memerlukan alat untuk regenerasi katalis dan
tidak perlu menambah biaya yang digunakan untuk membeli katalis sehingga biaya
produksi lebih murah.
2.7.2 Manfaat Asetanilida
Menurut
Kirk (1981), asetanilida banyak digunakan dalam industri kimia, misalnya:
1.
Sebagai bahan intermediet dalam sintesis obat-obatan.
2.
Sebagai zat awal dalam sintesa penicillin.
3.
Bahan pembantu pada industri cat, karet dan kapur barus.
4.
Sebagai inhibitor hidrogen peroksida.
5. Stabiliser untuk
pernis dari ester selulosa.
2.8
Rekristalisasi
Rekristalisasi
merupakan salah satu cara pemurnian zat padat dimana zat-zat tersebut tersebut
dilarutkan dalam suatu pelarut kemudian dikristalkan kembali. Cara ini
bergantung pada kelarutan zat dalam pelarut tertentu di kala suhu diperbesar.
Konsentrasi total impuriti biasanya lebih kecil dari konsentrasi zat yang
dimurnikan, bila dingin, maka konsentrasi impuriti yang rendah tetapi dalam
larutan sementara produk yang berkonsentrasi tinggi akan mengendap (Arsyad,
2001).
Rekristalisasi
merupakan metode yang sangat penting untuk pemurnian komponen larutan organik.
Ada tujuh metode dalam rekristalisasi yaitu: memilih pelarut, melarutkan zat
terlarut, menghilangkan warna larutan, memindahkan zat padat, mengkristalkan
larutan, mengumpul dan mencuci kristal, serta mengeringkan produknya (hasil)
(Williamson, 1999).
Kemudahan
suatu endapan dapat disaring dan dicuci tergantung sebagian besar pada struktur
morfologi endapan, yaitu bentuk dan ukuran-ukuran kristalnya. Semakin besar
kristal-kristal yang terbentuk selama berlangsungnya pengendapan, makin mudah
mereka dapat disaring dan mungkin sekali (meski tak harus) makin cepat
kristal-kristal itu akan turun keluar dari larutan, yang lagi-lagi akan
membantu penyaringan. Bentuk kristal juga penting. Struktur yang sederhana
seperti kubus, oktahedron, atau jarum-jarum, sangat menguntungkan, karena mudah
dicuci setelah disaring. Kristal dengan struktur yang lebih kompleks, yang
mengandung lekuk-lekuk dan lubang-lubang, akan menahan cairan induk (mother
liquid), bahkan setelah dicuci dengan seksama. Endapan yang terdiri dari
kristal-kristal, pemisahan kuantitatif lebih kecil kemungkinannya bisa tercapai
(Svehla, 1979).
Ukuran
kristal yang terbentuk selama pengendapan, tergantung pada dua faktor penting
yaitu laju pembentukan inti (nukleasi) dan laju pertumbuhan kristal. Jika laju
pembentukan inti tinggi, banyak sekali kristal akan terbentuk, tetapi tak
satupun dari ini akan tumbuh menjadi terlalu besar, jadi terbentuk endapan yang
terdiri dari partikel-partikel kecil. Laju pembentukan inti tergantung pada
derajat lewat jenuh dari larutan. Makin tinggi derajat lewat jenuh, makin
besarlah kemungkinan untuk membentuk inti baru, jadi makin besarlah laju pembentukan
inti. Laju pertumbuhan kristal merupakan faktor lain yang mempengaruhi ukuran
kristal yang terbentuk selama pengendapan berlangsung. Jika laju ini tinggi,
kristal-kristal yang besar akan terbentuk yang dipengaruhi oleh derajat lewat
jenuh (Svehla, 1979).
Kristal
adalah benda padat yang mempunyai permukaan-permukaan datar. Banyak zat padat
seperti garam, kuarsa, dan salju ada dalam bentuk-bentuk yang jelas simetris,
telah lama para ilmuwan menduga bahwa atom, ion ataupun molekul zat padat ini
juga tersusun secara simetris. Penampilan luar suatu partikel kristal besar
tidak menentukan penataan partikel. Bila suatu zat dalam keadaan cair atau
larutan mengkristal, kristal dapat terbentuk dengan tumbuh lebih ke satu arah
daripada ke lain arah. Kristal-kristal itu akan turun keluar dari larutan yang
berfungsi membantu penyaringan (Syabatini, 2010).
Material padatan terlarut
dalam pelarut yang cocok pada suhu tinggi (padat atau dekat titik didih
pelarutnya) untuk mendapatkan jumlah larutan jenuh atau dekat jenuh. Ketika
larutan panas perlahan didinginkan, kristal akan mengendap karena kelarutan
padatan biasanya menurun bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak
akan mengkristal karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu tinggi untuk
mencapai jenuh (Fary, 2009).
Menurut Fessenden (1989), saran-saran
yang dibutuhkan untuk melakukan metoda kristalisasi adalah sebagai berikut:
1.
Kelarutan material yang akan
dimurnikan harus memiliki ketergantungan yang besar pada suhu. Misalnya,
ketergantungan pada suhu NaCl hampir dapat diabaikan. Jadi, pemurnian NaCl
dengan rekristalisasi tidak dapat dilakukan. Kristal tidak harus mengendap dari
larutan jenuh dengan pendinginan karena mungkin terbentuk super jenuh. Dalam
kasus semacam ini penambahan Kristal bibit, mungkin akan efektif.
2.
Untuk mencegah reaksi kimia antara
pelarut dan zat terlarut, penggunaan pelarut non polar lebih disarankan. Namun,
pelarut non polar cenderung merupakan pelarut yang buruk untuk senyawa polar.
3.
Umumnya, pelarut dengan titik didih
rendah lebih diinginkan. Namun, sekali lagi pelarut dengan titik
didih lebih rendah biasanya non polar. Jadi, pemilihan pelarut biasanya
bukan masalah sederhana.
Menurut Fessenden (1989), tahap-tahap
yang dilakukan pada proses rekristalisasi pada umumnya, yaitu:
1.
Memilih pelarut yang cocok
Pelarut yang umum
digunakan jika dilarutkan sesuai dengan kenaikan kepolarannya adalah petroleum
eter (n-heksana), toluene, kloroform, aseton, etil asetat, etanol, metanol, dan
air. Pelarut yang cocok untuk merekristalisasi suatu sampel zat tertentu adalah
pelarut yang dapat melarutkan secara baik zat tersebut dalam keadaan panas,
tetapi sedikit melarutkan dalam keadaan dingin.
2.
Melarutkan senyawa ke dalam pelarut
panas sedikit mungkin
Zat yang akan dilarutkan
hendaknya dilarutkan dalam pelarut panas dengan volume sedikit mungkin,
sehingga diperkirakan tepat sekitar titik jenuhnya. Jika terlalu encer, uapkan
pelarutnya sehingga tepat jenuh. Apabila digunakan kombinasi dua pelarut,
mula-mula zat itu dilarutkan dalam pelarut yang baik dalam keadaan panas sampai
larut, kemudian ditambahkan pelarut yang kurang baik tetes demi tetes sampai
timbul kekeruhan. Tambahkan beberapa tetes pelarut yang baik agar kekeruhannya
hilang, kemudian disaring.
3.
Pendinginan filtrat
Filtrat didinginkan pada
suhu kamar sampai terbentuk kristal. Sering pendinginan ini dilakukan dalam air
es. Penambahan umpan (feed) yang
berupa kristal murni ke dalam larutan atau penggoresan dinding wadah dengan
batang pengaduk dapat mempercepat rekristalisasi.
4.
Penyaringan dan pendinginan kristal
Apabila proses
kristalisasi telah berlangsung sempurna, kristal yang diperoleh perlu disaring
dengan cepat menggunakan corong Buchner. Kemudian, kristal yang diperoleh
dikeringkan dalam eksikator. Asetanilida adalah suatu Amina dari asam asetat
dengan anilin. Oleh karena itu, senyawa ini dapat dibuat dengan mereaksikan
asam salisilat dengan anhidrida asam asetat menggunakan asam sulfat pekat
sebagai katalisator (Fessenden, 1989).
2.9
Penyaringan
Larutan disaring dalam
keadaan panas untuk menghilangkan pengotor yang tidak larut. Penyaringan
larutan dalam keadaan panas dimaksudkan untuk memisahkan zat-zat pengotor yang
tidak larut atau tersuspensi dalam larutan, seperti debu, pasir, dan lainnya.
Agar penyaringan berjalan cepat, biasanya digunakan corong Buchner. Jika
larutannya mengandung zat warna pengotor, maka sebelum disaring ditambahkan
sedikit ( ± 2% berat ) arang aktif untuk mengadsorbsi zat warna tersebut.
Penambahan arang aktif tidak boleh terlalu banyak karena dapat mengadsorbsi senyawa
yang dimurnikan (Fessenden, 1989).
2.10. Perhitungan Kadar
Air
Pengukuran
kadar air dalam suatu bahan sangat diperlukan dalam berbagai bidang. Salah satu
bidang yang memerlukan pengukuran kadar air adalah bidang industri bahan kimia.
Prinsip dari metode oven pengering adalah bahwa air yang terkandung dalam
suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada suhu 105oC
selama waktu tertentu. Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan
adalah kadar air (Astuti, 2010).
Penentuan
kadar air dapat dilakukan dengan cara pemanasan yaitu pengeringan sample dengan
menggunakan oven. Metode penentuan kadar air dengan cara pemanasan ini adalah
yang paling sering dilakukan dan paling sederhana.
Menurut Astuti (2010), cara
menentukan kadar air dengan pemanasan oven:
1.
Timbang sampel bahan dalam wadah yang
terbuat dari gelas atau alumuniun foil yang telah diketahui beratnya.
2.
Set suhu oven pada temperatur 1000C-1050C
3.
Masukan sampel kedalam oven sampai
kering dan beratnya menjadi konstan
4.
Setelah itu, keluarkan sampel dari oven
dan dinginkan dalam eksikator lalu timbang. Ulangi langkah 3 dan 4 berkali-kali
selama saja untuk mengetahui berat konstan sampel.
5.
Setelah didapat berat yang konstan lalukan
perhitungan kadar air. Caranya:

Berat basah
Cara
penentuan kadar air dengan metode pemanasan oven ini biasanya di lakukan untuk
sampel yang berupa biji-bijian, bubuk, atau padatan lainnya yang tidak mengandung
kadar gula tinggi dan juga tidak mengandung zat-zat volatil yang mudah menguap.
2.11.
Perhitungan Rendemen
Dalam
kimia, rendemen kimia, rendemen reaksi, atau hanya rendemen merujuk pada jumlah produk reaksi yang
dihasilkan pada reaksi
kimia. Rendemen absolut dapat ditulis sebagai berat dalam gram atau dalam mol (rendemen molar). Rendemen relatif yang digunakan
sebagai perhitungan efektivitas prosedur, dihitung dengan membagi jumlah produk
yang didapatkan dalam mol dengan rendemen
teoritis dalam mol:

Berat sampel secara
stoikiometri
Untuk
mendapatkan rendemen persentase,
kalikan rendemen fraksional dengan 100%. Satu atau lebih reaktan dalam reaksi
kimia sering digunakan berlebihan. Rendemen teoritisnya dihitung berdasarkan
jumlah mol pereaksi pembatas.
Untuk perhitungan ini, biasanya diasumsikan hanya terdapat satu reaksi yang
terlibat.
Nilai rendemen kimia yang
ideal (rendemen stoikiometri) adalah 100%, sebuah nilai yang sangat tidak
mungkin dicapai pada preakteknya (Vogel, 1996).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1
Bahan-Bahan yang Digunakan
1.
Anilin
2.
Asam asetat glasial
3.
Aquades
4.
Etanol
3.2 Alat-Alat
yang Digunakan
1.
Labu didih dasar datar
2.
Gelas ukur 100 ml
3.
Gelas ukur 10 ml
4.
Gelas piala 100 ml
5.
Erlenmeyer 100 ml
6.
Pipet tetes
7.
Corong buchner
8.
Waterbatch
9.
Pompa vakum
10.
Batang pengaduk
11.
Kertas saring
12.
Termometer
13.
Oven
14.
Cawan penguap
3.3 Prosedur
Praktikum
1. Sebanyak 20 ml asam asetat glasial dimasukkan ke
dalam labu didih dasar datar.
2. Kemudian 10 ml anilin ditambahkan ke dalam labu didih,
hati-hati reaksi eksoterm.
3. Larutan diaduk dengan
sempurna dan dibiarkan pada suhu kamar selama 5 menit.
4. Larutan yang ada di dalam labu didih
ditutup rapat, kemudian dipanaskan
di dalam air dengan suhu 85oC–95oC sambil digoyangkan selama 2 jam.
5. Larutan didinginkan dan
diencerkan dengan 75 ml aquades.
6. Kemudian larutan
didinginkan lagi di dalam
air es sampai terbentuk kristal.
7. Kristal yang terbentuk
disaring dengan
pompa vakum, kemudian kristal ditimbang.
8. Selanjutnya dilakukan rekristalisasi dengan pemanasan 40 ml aquades dan 25 ml etanol terlebih dahulu.
9. Kristal yang sudah terbesntuk dimasukkan ke dalam labu didih dan
ditambahkan dengan aquades
dan etanol yang telah dipanaskan.
10. Larutan diaduk dan
didinginkan kembali di dalam
air es sampai terbentuk kristal yang murni.
11. Kemudian kristal yang terbentuk disaring lagi dengan
pompa vakum dan dikeringkan di dalam oven.
12. Dihitung rendemen dan kadar air yang diperoleh.
3.4 Rangkaian Alat
Gambar 3.1 Rangkaian alat pemanas
Keterangan:
1.
Waterbatch
2.
Labu didih dasar datar
3.
Termometer
4.
Statip
5.
Klem
Gambar 3.2 Rangkaian alat vakum
Keterangan:
1.
Selang pembuangan gas
2.
Pompa vakum
3.
Erlenmeyer
4.
Saklar
5.
Corong Buchner
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Praktikum
a. Berat :
1,279 gram
b. Bentuk :
Kristal
c. Warna :
Coklat Keabu - abuan
d. Rendemen : 8,69%
e. Kadar Air :
53,66%
4.2
Pembahasan
Reaksi
asilasi merupakan suatu reaksi memasukkan gugus asil kedalam suatu substrat yang
sesuai. Sebuah
asil merupakan alkil yang terikat pada ikatan rangkap oksigen dan karbon.
Asetanilida dapat dihasilkan dari reaksi antara asam asetat glasial dan anilin.
Asetanilida berbentuk butiran berwarna putih, sering disebut phenilasetamida
mempunyai rumus molekul C6H5NHCOCH3 (Priyatmono, 2008).
Menurut
Priyatmono (2008), pada reaksi pembuatan asetanilida ini anilin sebanyak 10 ml
berfungsi sebagai reaktan, asam asetat glasial sebanyak 19 ml berfungsi sebagai
pelarut asam (melepas H+), mempengaruhi agar reaksi membentuk garam
amina, dan untuk menetralkan. Proses ini dilakukan di lemari
asam karena reaksi yang terjadi adalah reaksi eksoterm dan juga untuk menghindari tumpahan
reaksi terjadi di ruangan terbuka karena senyawa yang direaksikan yaitu asam
asetat murni yang sangat berbahaya jika terkena tubuh. Dan larutan yang terbentuk
berwarna coklat.
Larutan anilin dan asam asetat glasial tersebut dipanaskan selama
2 jam agar larutan benar-benar homogen pada suhu 85-950C. Setelah
larutan homogen (dipanaskan selama 2 jam), larutan tersebut dibiarkan pada suhu
kamar. Kemudian dimasukkan 75 ml aquades hingga terbentuk endapan, endapan
itulah yang disebut asetanillida.
Kemudian larutan didinginkan selama 1,5 jam dengan menggunakan es batu
agar semua asetanilida benar-benar mengendap. Hasil dari
kristalisasi ini berupa kristal yang berwarna kekuning-kuningan, yang berarti
masih ada pengotor di dalamnya, yaitu sisa reaktan ataupun hasil samping
reaksi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemurnian kembali. Kemudian larutan tersebut disaring dengan penyaring Buchner. Proses penyaringan ini
menggunakan prinsip sedimentasi, dan dibantu menggunakan vacuum pump, yaitu alat untuk menyedot
udara, sehingga proses penyaringan dan pengeringan cepat selesai. Vacuum pump di sini dapat menggunakan
alat tersendiri ataupun dengan mengalirkan air pada akhir selang penghubung
secara terus menerus sehingga terjadi perbedaan tekanan udara yang akan
menimbulkan sedotan. Berat dari hasil kristalisasi yaitu 5,238 gram.
Proses
selanjutnya adalah rekristalisasi untuk mendapatkan asetanilida yang lebih
murni. Rekristalisasi dilakukan dengan
penambahan etanol-air panas. Menurut Mawarni (2013), etanol dan aquades
dipanaskan bertujuan untuk meningkatkan kelarutan, jika kelarutan berbeda maka
Ksp akan berbeda, perbedaan Ksp inilah yang membuat asetanilida jadi mengendap didasar labu didih. Menurut Synyster (2006), air panas berguna untuk mempercepat pelarutan
asetanilida tersebut sedangkan etanol akan mengikat pengotor-pengotor yang masih terdapat pada asetanilida
pada hasil kristalisasi. Larutan disaring
kembali dengan penyaring Buchner. Hasil penyaringan ini kemudian didinginkan dengan menggunakan es batu selama 1,5 jam agar
semua asetanilida benar-benar mengendap. Kemudian
kristal yang tercampur dengan larutan berair tersebut disaring dengan penyaring Buchner dan
dicuci dengan aquades dingin agar kristal yang tertinggal di labu didih dasar datar
ikut tersaring. Kristal
selanjutnya dikeringkan dengan oven untuk menghilangkan uap air yang masih
terdapat pada kristal. Dari hasil reklistalisasi ini diperoleh kristal asetanilida
coklat keabu-abuan dari sebelumnya, karena itu untuk memperoleh asetanilida
yang putih dan murni tidak cukup hanya satu kali rekristalisasi, tetapi dapat
dilakukan berkali-kali.
Hasil kristalisasi disaring, dan didapat asetanilida basah sebanyak 2,76
gram, sedangkan asetanilida kering setelah dilakukan pengovenan adalah 1,279
gram, dengan rendemen 8,69% dan kadar air 53,66%. Rendemen yang didapatkan dipengaruhi oleh waktu pemanasan kurang lama, menyebabkan berkurangnya nilai rendemen sedangkan besarnya kadar air
dipengaruhi oleh lamanya penyaringan dengan menggunakan bantuan vacuum pump.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
1. Asetanilida
dibuat dengan mereaksikan anilin dengan asam asetat glasial secara asilasi.
2. Reaksi
asilasi yaitu memasukkan gugus asil kedalam suatu substrat yang sesuai.
3. Berat asetanilida yang didapatkan dari
percobaan yaitu 1,279 gram, dengan rendemen sebesar 8,69% dan kadar air dari asetanilida yang didapat yaitu 53,66%.
5.2
Saran
1.
Untuk pratikum selanjutnya sebaiknya
volume anilin dan asetat glasial di variasikan.
2.
Sebaiknya pencampuran zat-zat untuk
membuat asetinilida dilakukan di dalam lemari asam dengan hati-hati.
3.
Gunakan pelindung yang disarankan,
seperti masker dan sarung tangan.
4.
Saat pemanasan, suhu harus selalu
diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F., dkk.. 2011. Perancangan dan Pembuatan
Modul ECG dan EMG Dalam Satu Unit PC Sub Judul: Pembuatan Rangkaian ECG dan
Software ECG Pada PC. Jurnal Generic, 1-6.
Austin. 2008. Shreve’s
Chemical Process Industries, 5th ed. Singapura: McGraw- Hill Book Co..
Amri. 2009. Asam
Salisilat. http://library.USU.ac.id/download/ft/tkimia-Amri.pdf. Diakses
pada 12 April 2015.
Arsyad, 2001. Kamus Kimia Arti
dan Penjelasan Istilah. Jakarta: Gramedia.
Bresnick, S.D.. 2003. Intisari
Kimia Organik.
Jakarta: Hipokrates.
Fary.
2009. Rekristalisasi, Pembuatan Aspirin
dan Penentuan Titik Leleh Aspirin. http://faryjackazz.blogspot.com/2009/03/rekristalisasi-pembuatan-aspirin-dan.html.
Diakses pada 12 April 2015.
Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S.. 1997. Dasar-dasar Kimia Organik.
Jakarta: Bina Aksara.
Fessenden.
1989. Kimia
Organik,
edisi ke 3. Jakarta: Erlangga.
Kirk
and Othmer.
1982. Kirk-Othmer
Encyclopedia of Chemical Technology.
Vol. 17. Canada: John Wiley and Sons, Inc.
Oxtoby,
Gillis, dan Nachtrieb. 2003. Prinsip-prinsip
Kimia Modern.
Jakarta: Erlangga.
Priyatmono, A. 2008. Asetanilida, kimiadotcom.wordpress.com,
7 may 2015.
Pudjaatmaka, A.H.. 1992. Kimia Untuk
Universitas Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Riawan, S. 1990. Kimia Organik Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Svehla. 1979. Buku Ajar Vogel :
Analisi Anorganik Kuntitatif Makro dan Semimikro. Jakarta: PT Kalman Media
Pusaka.
Syabatini, A.. 2010. Pemurnian
Bahan secara Rekristalisasi. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.
Wilbraham, A.C.. 1992. Pengantar Kimia Organik 1. Bandung: ITB.
Williamson.
1999. Macroscale and Microscale Organic Experiment. USA: Houghton
Mifflin Company.
bismillah..
ReplyDeleteizin copy yaa